Kamis, 23 September 2010

IKRAR TANPA MAKNA?


Masa liburan lebaran ternyata bukan membuat libur permasalahan di bangsa ini. Ada saja yang jadi kabar buruk di masa-masa tenang dan berbahagia ini. Lihat saja, di hari Raya Lebaran yang pertama, saat hendak berharap “angpao” dari pak Presiden dan keluarganya, seorang tuna netra mendadak meninggal. Sebuah kisah tragis di hari yang berbahagia. Setelah itu, kita tahu bersama hari minggu kemarin (12/09/2010), umat Kristen di Bekasi kembali ditindas oleh sekelompok orang. Kali ini, tindakan orang tak bertanggung jawab ini makin menjadi-jadi. Seorang jemaat HKBP yang hendak beribadah ke Gereja, tiba-tiba dianiaya oleh orang tak dikenal. Dia menjadi korban penusukan dan Pendetanya, menjadi korban pemukulan oleh orang-orang biadab ini. Kini, jemaat ini telah dirawat di Rumah Sakit. Sebelumnya jemaat HKBP ini dilarang beribadah oleh kelompok separatis.

Sumpah Pemersatu

Entah apa yang dipikirkan oleh kelompok-kelompok separatis ini. Mereka kira, dengan bersikap seperti itu, mereka akan dianggap hebat. Lagi-lagi rasanya bangsa ini seakan mengalami kemunduran moril dan rasa toleransi. Kadang ku berpikir, “apa perlu bangsa asing menjajah Negara ini untuk yang kesekian kalinya dengan senjata perang? Ah, terlalu capek rasanya mikirin ekspansi Negara lain dengan senjata perang, dengan penjajahan oleh perekonomian saja kita sudah letoy”, pikirku. Mengapa ku sampai berpikir konyol seperti itu? Mari kita mengingat sejarah. Kita bisa bersatu saat penjajah menindas kita dengan senjata. Mari juga mengingat bagaimana proses bersatunya seluruh pulau menjadi NKRI. Gajah Mada yang bersumpah untuk menyatukan nusantara jauh sebelum kompeni datang memang ambil andil dalam mempersatukan 17.000 lebih pulau-pulau kita ini. Namun yang menjadi titik awal bersatunya nusantara di abad kontemporer ini adalah Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) yang dulunya diikrarkan oleh pemuda-pemudi dari berbagai suku dan golongan dari barat sampai ke timur sana. Ingatlah, bukan hanya jong (pemuda) java saja yang mengikrarkan sumpah itu, namun juga ada jong Batak, yang diwakili oleh Amir Sjarifuddin Harahap, juga ada jong Maluku, jong Sumatra,jong Ambon, dan jong-jong yang lain.
Pernahkah anda bayangkan, andai utusan dari jong Batak (Amir Sjarifuddin) dan jong Sumatra akhirnya tidak mau mengakui kedaulatan RI kala itu? Bisa jadi akan berdirilah Negara Republik Sumatra Jaya (karangan saya) dan bahkan akan berdiri pula KerajaanBangso Batak (karangan saya juga). Nah, sekali lagi saya mau bilang bahwa inilah titik awal bersatunya semua suku dan golongan yang berikrar untuk berbahasa satu (bahasa Indonesia), berbangsa satu (Bangsa Indonesia) dan bertanah air satu (Tanah Air Indonesia). Sehingga sebenarnya semua suku (sekecil apapun kuantitasnya), punya hak yang sama untuk hidup aman dan damai di NKRI yang berdaulat ini. Maka, jangan pernah ada satu suku atau golongan tertentu yang merasa lebih superior atau berkuasa.

Degradasi Identitas

Hari minggu kemarin, Taufik Ismail, seorang pujangga puisi kebanggsaan, membacakan puisinya tentang kebobrokan bangsa ini di TV one. Salah satu baitnya yang ku ingat kira-kira seperti ini, “ karakter bangsa yang dulunya ramah, bersahabat, kini berganti menjadi bangsa perusak, kasar dan tak bermoral…”. Benar pula apa yang dikatakan sang pujangga ini. Selain memang akhir-akhir ini terjadi perusakan rumah ibadah, terjadi pula perampokan-perampokan bersenjata di berbagai daerah. Bahkan yang lebih sadisnya, terjadi perampokan-perampokan uang rakyat oleh pejabat Negara korup.

Minggu Kelabu

Hari minggu kemarin juga ada perilaku masyarakat banyak yang mencerminkan ketidaktaatan terhadap peraturan Negara. Dalam perjalanan dari Tebing Tinggi menuju Medan, jalan lintas menuju Medan dipadati pengendara mobil, bus dan sepeda motor. Aku yang duduk dekat pak supir, dengan leluasa memandang suasana macet di jalan raya. Saya melihat, banyak pengendara sepeda motor yang dengan bangga berlalulintas tanpa menggunakan helm. Sepertinya, peraturan yang diprakarsai pak Hoegeng ini masih kurang di taati masyarakat. Padahal demi keselamatan pengendara tersendiri. Saya melihat, para pengendara yang tidak taat aturan ini ternyata bukan hanya pasangan anak muda saja, namun orang tua yang membonceng istri dan anak-anaknya, bahkan nekad bepergian dengan sepeda motor tanpa helm. Padahal, jalanan padat seperti itu biasanya rawan kecelakaan. Benar saja, ketika bus kami melintasi wilayah Lubuk Pakam, terjadi kecelakaan antara bus dan pengendara motor. Dan korbannya adalah sepasang orang tua dengan seorang anak mereka. Sekilas aku melihat tangis sang ibu melihat suaminya terluka. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Nah, inilah salah satu contoh degradasi moral yang dikatakan Taufik Ismail tadi. Bukan hanya para pejabat Negara yang punya mentalitas buruk, bahkan rakyatnya juga. Padahal identitas bangsa ini tadinya tidaklah separah ini. Kita bisa melihat bagaimana adat-istiadat setiap daerah yang begitu santun dan penuh nilai. Namun kini terkikis oleh sikap egoisme setiap pribadi untuk hidup bagi dirinya sendiri. Mengerikan sekali. Namun inilah realita Ibu Pertiwi kini.

Pelihara Status Quo?

Nah, dengan melihat realita ini, apakah kita masih terus memelihara status quo degradasi ini? Kebangkitan bangsa ini secara nasional hanya bisa ditanam dan dituai oleh semua lapisan masyarakat kita sendiri. Kita harus kembali memupuk semangat Sumpah Pemuda yang mengikrarkan perjuangan bersama menaikkan derajat bangsa. Semua suku dan golongan harus punya satu tujuan, yakni menaikkan derajat bangsa ini tanpa ada perbedaan hak dan kewajiban. Sehingga suatu saat daerah di Sabang sampai Merauke sama majunya dengan daerah di Jawa yang selama ini mendapat perhatian lebih dari Pemerintah. Andai saja mimpi ini tidak pernah terwujud dalam beberapa tahun mendatang, maka menurutku sah-sah saja kalau daerah-daerah tertinggal namun punya SDA yang kaya memilih untuk berpisah dari NKRI. Karena memang pemerintah dalam hal ini yang terlebih dahulu mengabaikan Sumpah Pemuda yang tadinya diikrarkan untuk kesejahteraan bersama (bukan sebagian).
Tentunya, kita tidak menginginkan perpecahan ini terjadi. Namun Sumpah “sakti” ini akan tidak berfungsi lagi saat sebagian orang menghianati makna luhur Sumpah ini. Waktu masih ada diijinkan sang Khalik bagi kita untuk berbenah.

Mari kita membenahi diri sendiri terlebih dahulu, kita lahirkan kembali sifat-sifat luhur para pendahulu kita. Kita tanamkan kembali jiwa nasionalisme yang sempat kita kubur dalam-dalam. Kala kita tidak lagi menjaga nilai-nilai luhur kebangsaan, maka generasi kita yang akan datang akan semakin menghancurkan warisan Ibu Pertiwi yang kini sedang diperas oleh orang-orang tak bertanggungjawab (Mungkin termasuk saya dan saudara). Kalau tidak kita mulai dari sekarang, maka bersiaplah mendengar cerita anak cucu kita yang berkata, “Dulu, bangsa kami adalah bangsa yang tak berkepribadian, maka kami sekarang menderita dijajah asing”. Semoga tidak!

Medan, 13 September 2010

1 komentar:

  1. saya ingin memberikan masukan. tulisan hurufnya kalau bisa yang agak besar, supaya lebih enak dibaca. :)

    BalasHapus