Kamis, 23 September 2010

CATATAN MAHASISWA BODOH

Hari ini kujalani seperti biasa ku menjalani hari libur. Bangun telat, akibat lama tidur. Heran, rasanya aku seperti menikmati pola hidup tak sehat ini. Masa lalu ku ikut ambil andil dalam kebiasaan baruku ini. Dulu, aku tak pernah berfikir tentang apa itu membaca, untuk apa menulis. Aku hanya tahu, ada tugas maka aku buka buku. Dengan gaya belajar seperti ini saja aku dapat ranking di kelas. Puas rasanya, tiap terima rapor, ku ingat mulai SD sampai SMA, posisi rangking ku masih memuaskan, tidak hanya diriku, namun juga keluargaku. Cepat merasa puas, baru ku tahu ini merupakan salah satu ciri kesombongan. Biasanya, orang yang cepat puas akan berpengetahuan sempit.
                Benar saja, baru di perguruan tinggi ini mataku terbelalak melihat dunia. Kayak katak di bawah tempurung, kata orang bijak. Ternyata “tempurung” ku terlalu sempit, saat ku lihat dunia luas, aku pun megap-megap. Untunglah Tuhan masih berbaik hati membukakan “tempurung” ku. Bukan melalui dosen, dosen ku tak pernah mau aku jadi orang berwawasan. Bukan dari pendidikan ku, pendidikan yang ku kecap hanya sekedar mesin pencetak sarjana. Namun Tuhan membuka dan membuang jauh-jauh “tempurung” sialan yang selama ini menutupi ku melalui buku,lalu orang-orang sadar dan kritis di sekitar ku.
Musuh bebuyutan  
                Buku, dulu menjadi musuh bebuyutanku. Mual perutku jika harus dipaksa baca buku. Buku malah jadi teman kompromi yang sangat baik untuk mengajariku tidur cepat. Jujur saja, perpustakaan yang katanya gudang ilmu adalah tempat yang paling jarang untuk ku injak. Namun, tiba-tiba lembaran-lembaran buku kini seakan menampar pipiku sekeras-kerasnya untuk menyadarkanku dari mimpi buruk masa depanku. Aku tiba-tiba tersadar. Terhenyak dan takjub mata ku kini melihat dan membaca buku ini. Sadarku “Bagaimana mungkin aku bisa merasakan kemerdekaan hari ini kalau Sukarno dan Hatta bukanlah para kutu buku?” Tajamnya bambu runcing ternyata tidak setajam goresan pena. Sukarno dan Hatta serta para pahlawan kontemporer lainnya yang berjuang dengan otak adalah pejuang-pejuang yang kaya ilmu. Aku pun baru tahu bahwa Hatta, saat diasingkan di penjara, selalu membaca buku. Persis seperti Paulus saat ditahan dipenjara, meminta Timotius untuk membawakan Perkamen dan kitab-kitabnya (2Tim4:13). Setiap biografi-biografi tokoh-tokoh nasional seperti; Soe Hok Gie, Sam Ratulangi, J. Leimena, Amir Sjarifuddin, dll, selalu menceritakan bagaimana mereka begitu tertari membaca segala macam buku sejak kecil.
Bulan lalu, seorang teman menuliskan dalam artikelnya bahwa “Yesuspun Membaca”. Ingat bagaimana Yesus menjawab iblis saat dia dicobai? Yesus menjawab iblis, “Ada tertulis…(Mat 4:4)”. Bagaimanakah Yesus bisa mengatakan yang “tertulis itu” (Ul 8:8) kalau Yesus tidak membaca kitab Taurat Musa? Apa karena Ia adalah Allah? Ingat, Dia juga manusia yang sedang lapar setelah berpuasa (Mat 4:2). Maka, melalui ini, aku seperti orang yang dilahirkan kembali untuk membaca, membaca dan membaca. Mungkin orang mengatai, “Dah terlambat kau kedan…”. Maka akan ku jawab, “tak ada kata terlambat sebelum mengakhiri hidup, jek”. Kini, setiap kesempatan, luang, akan kugunakan untuk membaca.
Tanpa harus menyangkali, bahwa minat bacaku ternyata tumbuh dari orang-orang melek, sadar dan kritis disekitar ku. Berada dilingkungan para aktivis yang selalu berdiskusi masalah kampus, bangsa dan Negara, membuat wawasan berfikir semakin luas. Orang-orang melek ini sedikit banyak mengantarku mengenal kesaktian buku itu. Membaca, diskusi, aksi turun ke jalan lalu menulis. Sebuah sirkulasi aktifitas yang semakin menendang jauh-jauh “tempurung” yang ada di atas kepalaku.
Apalagi menulis
Menulis. Kata ini lagi. Buku-buku tulisku hanya berisi catatan-catatan yang menjadi PR saat sekolah. Pun ketika kuliah. Tinta pena hanya habis untuk menulis kata-kata dosen tanpa makna. Sekedar dilihat bahwa aku mahasiswa yang baik, mau menuliskan setiap kata-kata penting yang diucapkannya. Pernah pula dalam mata kuliah menulis, dosen ku malah menyuruh kami untuk bernyanyi di depan kelas, dan menjadi nilai penentu. Wah, kacau sudah dunia persilatan. Ah, sudah lah. Tak usah lagi ku ingat masa lalu ku yang memalukan itu. Kini, Tuhan juga sudah membuka mata ku sampai terbelalak. Menulis itu sangat penting. Mari simak kutipan berikut, “Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya” (Von Kollewijn, 32).
Aku juga baru tersadar. Bagaimana kalau Einstein tidak menuliskan rumus relativitasnya yang dahsyat itu kalau tidak ditulisnya? Siapa yang akan mengenalnya kini? Andai tidak ada orang yang menuliskan riwayat hidup Tan Malaka, Soe Hok Gie, dan tokoh-tokoh lain, siapa yang akan mengingat mereka sebagai pahlawan atau tokoh? Apa yang terjadi kalau sejarah bangsa ini tidak dituliskan? Dan ekstrimnya, apa yang terjadi kalau Alkitab tidak dituliskan? Jadi, ternyata menulis ini juga adalah hal penting yang harus dilakukan terus menerus oleh setiap orang. Termasuk aku yang baru melek menulis ini. Dengan menulis, Sukarno bisa kita kenal melalui tulisannnya, lalu kita tahu bahwa Gie sangat menentang Sukarno kala itu –sementara orang banyak memujanya-. Dengan tulisan di sejarah, kita semakin mengenal jati diri kita sebagai bangsa yang besar. Dengan tulisan orang yang diilhami Tuhan, kita lalu mengenal siapa Allah Tritunggal, manusia dan kejatuhannya serta iblis si pengacau.
Bagai orang sedang kasmaran, aku pun ingin rasa cintaku terhadap kedua aktivitas ini (baca: membaca dan menulis) tidak pernah pudar. Aku ingin kelak menjadi seorang sarjana yang benar-benar sarjana. Sebelum aku menjadi seorang sarjana, aku ingin mengenal bangsa ku secara utuh, melihat dunia secara luas, meski lewat buku, menuliskan hal-hal sederhana namun berguna, dan berbuat untuk bangsa. "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202). Kutipan ini semakin meyakinkanku bahwa tujuan Tuhan mengijinkanku melepaskan “tempurung-tempurung” kebodohanku selama ini adalah untuk ambil bagian dalam memajukan negeri.
Inilah sebabnya aku harus membayar masa lalu ku yang buruk itu. Memang bayar harga tidaklah mudah kawan. Yesuspun harus menderita dan mati di salib untuk dosa-dosa kita. Memang pantaslah aku harus menderita kini. Andai aku harus tenang-tenang saja di kursi goyang, apalah arti hidupku.
Seperti biasa, kota Medan selalu saja menggerahkan walau sudah larut malam. Ditambah nyamuknya yang semakin ganas bermetamorfosis untuk mengganti taringnya untuk mengisap darahku, meski kulitku telah dilapisi losion anti nyamuk. Ada baiknya ku tutup saja catatan mahasiswa bodoh ini dengan ucapan selamat berkarya untuk negeri! Ijinkan juga Tuhan membuka dan membuang jauh-jauh “tempurung” mu.
Medan, 17 September 2010
12.23 am.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar